Assalamulaikum Wr Wb, "Selamat Datang di Blog Kumpulan Kisah-Kisah Inspiratif,Give Inspiration, Motivation and Enlightenment, Untaian kisah yang menginspirasi dan membangkitkan semangat dikala lemah,Selamat Meyelami Kedalaman Samudera Kisah-Kisah yang Penuh Makna"

Rabu, 13 Februari 2013

Bibit-bibit Penghafal Quran di Negeri Barat

Suatu saat, seseorang mengetuk pintu rumah kami. Begitu pintu saya buka, ternyata seorang gadis kecil. Kira-kira 11 tahunan. Namanya…, saat itu saya lupa. Ia menyodorkan sebuah tas kantong plastik. Tampaknya berisi pisang dan entah apa. Setelah saya tanya dari mana, ia menunjuk ke seberang jalan. Di sana berdiri seorang pria berjenggot tebal mengenakan surban. Tampaknya ia baru saja turun dari mobil. Kepada saya pria itu melambaikan tangan. Sedangkan gadis di depan saya, beberapa saat sebelum sempat saya tanya-tanyai lagi, langsung berlari ke arah pria tadi dan masuk rumahnya. Pria itu segera menyusul masuk.

Keesokan harinya, saya menunggu kesempatan sampai pria yang kemarin sore itu keluar rumah. Begitu dia keluar hendak masuk mobil, saya pun keluar rumah dan berjalan ke arahnya. Kami pun saling memperkenalkan diri. Ternyata Mahmood namanya. Kira-kira 45 tahunan. Kami bertukar tanya tentang asal-usul, sewajarnya orang baru kenal. Akhirnya bukan basa-basi lagi, saya jadi senang bercerita karena begitu ramahnya ia.

Di saat berikutnya, saya merasakan dia dan keluarganya memperhatikan kami. Belum sempat kami membalas atas kirimannya tempo hari, Mahmood memberi sesuatu lagi kepada kami. Berhubungan dengan makanan. Selain itu, ia sering memasukkan ke jadwal salat lewat di pintu rumah kami. Karenanya kami berusaha membalas kebaikan-kebaikannya. Di waktu berikutnya kami pun membuat masakan Indonesia sebagai “jawaban” atas ajakan mempererat silaturahmi.

Atas semua hal itu, saya mulai memperhatikan hal-hal yang tampak dari keluarga tetangga yang baik ini. Berasal dari Pakistan, Mahmood tinggal di negara kerajaan ini sejak 27 tahun yang lalu. Dari istrinya yang selalu mengenakan cadar, lahirlah tiga putri dan putranya. Gadis kecil tempo hari itu ternyata anak keempat. Kami biasa memanggilnya Maniba. Kakaknya, Rasyid, yang masih usia SMP, kira-kira tujuh bulan yang lalu, diajak oleh Mahmood ke Pakistan. Di sana ia dimasukkan ke sekolah asrama (semacam pesantren). Dua bulan yang lalu ketika saya tanya tentang putranya yang di Pakistan, Mahmood menjawab, “Alhamdulillah, dia baik-baik saja. Kini ia mengikuti program menghafal Quran. Alhamdulillah ia sudah menghafal 6 juz.”

Mahmood menambahkan, bahwa ia berkeinginan agar suatu saat Rasyid mengkhatamkan hafalan Qurannya dan kemudian bisa studi ke Mekah atau Madinah. Ia juga menginginkan putranya yang paling kecil mengikuti jejak kakaknya, meskipun tidak harus ke Pakistan. Adeel, nama si bungsu yang masih 8 tahun, kini telah menamatkan hafalan juz 30 di madresah yang diikutinya setiap sore hari.

Sampai di sini, cerita ini saya geser sedikit ke soal madresah. Setiap jam setengah lima sore, saya melihat Mahmood atau istrinya, mengantar putra-putrinya yang masih pergi ke madresah. Saya lihat, tetangga-tetangga yang lain juga sama. Di sore hari, sepulang dari sekolah, mereka di antar oleh ibu atau bapaknya untuk belajar lagi. Di tempat inilah mereka sehari-hari secara informal memperoleh pelbagai pengajaran tentang keislaman, mulai dari aqidah, ibadah, cara membaca Quran hingga bimbingan hafalan Quran.

Yang disebut terakhir ini, rupanya menjadi program favorit di tiap-tiap madresah yang pernah saya jumpai. Sekadar informasi, di Inggris, khususnya kota Birmingham yang populasi muslimnya cukup besar ini, banyak berdiri madresah. Sebagai institusi pendidikan yang bersifat informal, madresah menjadi alternatif untuk menutupi kekurangan ajaran keislaman yang hal itu tidak tersedia dalam kurikulum sekolah. Yang mengelola adalah – mereka biasa menyebut – para maulana. Karena begitu banyaknya madresah, bisa dibayangkan, potensi-potensi penghafal Quran semacam Rasyid dan Adeel ini banyak bermunculan di kerajaan yang menganut Katholik Anglikan ini.

Suatu saat kami mengajak anak-anak jalan-jalan ke sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Di arena playground saya memperhatikan seorang bapak muda sedang ndolani anaknya. Kanzul, nama bapak dua anak asal Bangladesh ini, tampak dengan bangganya menunjuk kepada anak pertamanya yang masih berumur 12 tahun dan telah mengkhatamkan hafalan Quran. Rupanya ia tidak saja menyekolahkan anaknya ke madresah, tetapi juga memanggil guru private ke rumahnya, demi meningkatkan .

Karena kami berminat memasukkan anak kami ke madresah, tetangga sebelah kanan mengajak saya untuk datang ke madresah tempat anaknya belajar. Setelah bertemu sang Maulana (belakangan saya kenal bernama Umar dan dia senang ketika beberapa bulan lalu sempat mengunjungi Malaysia, Singapore, dan Indonesia), ternyata kelasnya sudah penuh.

Sempat terpikir oleh saya, apakah program semacam ini tidak terlalu membebani sang anak. Namun kekhawatiran saya tidak terlalu beralasan, jika melihat keceriaan di wajah mereka sehari-hari. Terlebih mereka masih mempunyai kesempatan bermain. Di musim panas terutama, anak-anak ini biasa main di rumah dan menjadi teman bagi anak-anak kami. Di saat mereka bermain saya kerap mengajak berbincang-bincang tentang berbagai macam termasuk aktivitas mereka sehari-hari.

Dari mereka saya melihat sebuah harapan. Munculnya bibit-bibit ataupun permata yang akan meramaikan dunia dengan kalimat-kalimat Qurani. Dari sebuah negeri yang dikenal sekular. Insya Allah.


Bragg Road, 00.00 – 12.02.2013

Ditulis oleh Mohammad Rozi dipublis di kompasiana, link: http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/12/bibit-bibit-penghafal-quran-di-negeri-barat-527723.html
Read more »

Senin, 11 Februari 2013

Apakah Anak-ku harus rangking 1?




Si Ranking 23 : “Aku ingin menjadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan”

Di kelasnya terdapat 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun ternyata anak kami menerimanya dengan senang hati.

Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak kami rangking nomor 23 dan tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya begitu bersinar-sinar.

Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati kepada anak kami: “Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?” Anak kami menjawab: “Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian yang luar biasa”. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan bahwa kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.

Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sangat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK?

Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?

Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya.
Anak kami juga sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu tidak dilakukan lagi.
Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat semakin kurus. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku kondisinya semakin pucat saja.

Apalagi, setiap kali akan menghadapi ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi tekanan, dan membantunya tumbuh normal.

Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram damai kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek.

Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.

Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan berebut sebuah kue beras yang di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara yang sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.

Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing.

Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.

Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya.

Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.

Alasannya pun sangat beragam : antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris.

Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja.

Dia memberi pujian: “Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.

Saya bercanda pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”

Dia pun pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.

Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga.

Dalam hatiku pun terasa hangat seketika.

Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini.
Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.

Jika anakku besar nanti, dia pasti menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang gemar membantu, tetangga yang ramah dan baik.

Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas?

Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi?

Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.

- Khalil Gibran

Kisah ini juga di tulis di beberapa milis.

Sumber: http://annasahmad.wordpress.com/2012/02/07/rangking-satu/
Read more »

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.